Selasa, 26 Maret 2013

Pertanian, Revolusi Hijau dan Globalisasi




Ketika umat manusia memasuki era industrialisasi (pertama kali di Inggris pada abad ke-19), maka segera timbul pertanyaan besar: siapa yang akan memberi makan orang-orang yang tidak bekerja di pertanian? Selama berabad-abad orang bekerja di ladang dan memungut hasilnya untuk kebutuhan hidupnya. Spesialisasi sebagaimana dituntut dalam dunia industri, menghasilkan kelompok manusia yang tidak bercocok tanam, dan jumlah ini makin lama makin besar, makin besar. Bagaimana memberi makan orang sebanyak ini? Apalagi penduduk dunia terus meningkat? 

Jawabannya jelas: pertanian harus diintensifkan dan dikerjakan oleh semakin sedikit orang. Kalau pada masa lampau, sebidang tanah hanya membawa hasil dalam jumlah tertentu, maka pada masa sekarang sebidang tanah yang sama harus bisa menghasilkan lebih banyak. Salah satu eksperimen adalah dengan menghimpun tanah milik petani, lalu para petani menggarap bersama-sama. Hasilnya sebagian dinikmati sendiri dan sebagian lain disetorkan ke kota-kota. Ini eksperimen yang disebut “komune” yang pernah ada di Cina. Eksperimen lain adalah dengan memakai teknologi sehingga tanah dengan luas yang sama memberi hasil yang berlipat-lipat. Inilah yang disebut “Green Revolution” atau “Revolusi Hijau,” yang dimulai di Mexico pada 1943 disponsori oleh Rockefeller Foundation dan Ford Foundation, keduanya yayasan yang berasal dari Amerika Serikat.

Dua eksperimen ini telah mendapat kritik tajam. Eksperimen komune telah berakhir di Cina, dianggap gagal, padahal sistem komune dulu dipandang sebagai tandingan terhadap Revolusi Hijau. Indonesia tidak memilih sistem komune, tentu saja, tapi selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru ikut dalam gemuruh Revolusi Hijau. Pada intinya Revolusi Hijau – yang mengandalkan teknologi benih, pupuk dan pestisida – berusaha melipatgandakan hasil pertanian sehingga tersedia cukup makanan baik bagi negara yang bersangkutan maupun bagi negara lain di seluruh dunia. Banyak negara di Selatan pada tahun 1960-an yang terbuai oleh mimpi yang ditawarkan oleh Revolusi Hijau. Laporan yang dibuat oleh organisasi-organisasi internasional juga memperkuat mimpi itu, sampai akhirnya orang menyadari bahwa Revolusi Hijau benar-benar sebuah mimpi.

Kritik terhadap “Revolusi Hijau” ada amat banyak, baik dari sisi teknologi, ekonomi, politik, ekologi, maupun kultural. Revolusi Hijau memang mengandalkan teknologi semata-mata untuk meningkatkan produksi pangan. Seperti telah disebutkan di atas, teknologi yang dikembangkan itu mencakup membuat benih, membuat pupuk, dan membuat pestisida. Bukan hal yang baru bahwa teknologi menimbulkan efek negatif. Karena dipakai benih hibrida, hilanglah “keragaman petani.” Kecuali itu para petani tergantung pada pestisida, pupuk, bensin dan mesin. Akibatnya biaya untuk pertanian meningkat. Tanah dikuasai oleh segelintir petani, sebagian besar petani lain menjadi buruh tani atau ke luar dari desa mereka. Sumber air terkuras, sementara irigasi menimbulkan salinitas sehingga tanah dalam jumlah besar tidak dapat dipakai lagi. Air, tanah dan kesehatan dirusak oleh pupuk dan pestisida. Yang tidak terduga itu hama dan penyakit bukannya berkurang malah bertambah. 

Dengan Revolusi Hijau ini pertanian di negara Selatan sebenarnya sudah tersedot masuk dalam globalisasi. Ketika petani memutuskan untuk memakai benih padi unggul (high-response varieties – HRVs), misalnya, ia sudah langsung mengikat diri untuk pemakaian pupuk tertentu, pestisida tertendu karena benih-benih itu tidak mudah beradaptasi dengan sawah mereka. Nah, siapa penghasil benih, pupuk dan pestisida ini? Di sini masuklah korporasi multinasional yang memiliki laboratorium riset (R&D) yang canggih, sistem pemasaran yang sistematis, serta sistem lobi yang ekstensif. Beberapa yang terbesar dapat disebutkan di sini: Monsanto, Kellog, Cargill, Heinz, dsb. 

Dalam seluruh proses globalisasi pertanian ini, sangat dan amat menarik bagaimana diskusi untuk menyediakan pangan bagi dunia bergeser: semula setiap negara bertanggungjawab atas ketahanan pangannya masing-masing, kini petani harus bertanggungjawab atas ketersediaan pangan seluruh dunia. Gagasan inilah yang menjadi asumsi perdagangan bebas di bidang pertanian yang dikampanyekan oleh WTO, dan didukung oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Kanada. Ekspor pangan harus digenjot, tidak boleh dihambat oleh negara, sehingga tersedialah pangan di seluruh dunia. Aliran komoditas pertanian harus bebas. Sejauh menyangkut korporasi, dikatakan juga bahwa semakin korporasi pangan itu menjadi efisien, semakin korporasi mampu menghasilkan pangan. 

Namun petani-petani di empat wilayah dunia, walaupun berjumlah sedikit, berhasil menciptakan lobi yang amat tangguh di negara mereka masing-masing. Mereka mendukung penurunan tariff, tetapi mereka tetap menuntut subsidi pertanian yang tinggi. Studi yang dilakukan oleh Cato Institute pada 2005 menunjukkan bahwa petani di negara-negara maju (yang tergabung dalam OECD), menerima subsidi sebesar US$ 279 milyar atau sekitar 30 persen pendapatan dari pertanian seluruhnya. Petani Amerika Serikat menerima US$ 46,5 milyar dari pemerintahnya atau sekitar 18 persen dari pendapatn pertanian total Amerika. Masih di Amerika Serikat, setiap keluarga petani mendapat US$ 79.961, atau 26 persen lebih tinggi dari pendapatan rata-rata nasional. Yang tak kalah mengejutkan, dua pertiga dari subsidi itu dibagi-bagi kepada 10 persen petani terkaya. (Daniella Markheim dan Brian M. Riedl, http://www.heritage.org/RESEARCH/BUDGET/wm1337.cfm)

Ini sebabnya perundingan WTO macet sampai sekarang! Negara-negara Selatan mati-matian berjuang menuntut diturunkannya subsidi di negara-negara Utara, yang bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas. Sementara itu pertanian di negara-negara Selatan tetaplah terpuruk dalam roda globalisasi: benih, pestisida, pupuk harus dibeli dari MNC. Sekalipun petani tidak kuat beli input ini, negara dilarang memberi subsidi sebagaimana tercantum dalam conditionalities yang ditetapkan oleh IMF. Indonesia sedang mengalami ini semua. Petani-petani yang tidak kuat bersaing dengan impor produk pertanian yang murah, tidak ada jalan lain kecuali mereka berhenti menjadi petani dan alih profesi.
Apakah dengan demikian kekurangan pangan yang melanda dunia saat ini telah diatasi? Ternyata masalah sekarang ini bukan pada rendahnya produksi pangan, tetapi pada “maldistribution” pangan. Bahan makanan tersedia, kendati dengan segal efek negatifnya, tetapi menumpuk di beberapa kantong-kantong dunia. Mayoritas penduduk negara-negara Selatan yang miskin tetap tidak mampu membeli makanan yang diimpor, seandainya mampu, mereka membeli makanan dengan kualitas amat rendah. Untuk memproduksi sendiri mereka tidak sanggup karena tingginya harga input pertanian. Dengan demikian kelaparan tetap menghantui dunia, kendati seluruh janji kampanye globalisasi.













Source : Dinas Pertanian